Selasa, 03 Maret 2009

melihat calon ketika lamaran

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah r.a. beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan, kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah". Hadist ini sahih dan mempunyai riwayat lain yang menguatkannya.
Ulama empat madzhab dan mayoritas ulama menyatakan bahwa Seorang lelaki yang berkhitbah kepada seorang perempuan disunnahkan untuk melihatnya atau menemuinya sebelum melakukan khitbah secara resmi. Rasulullah telah mengizinkan itu dan menyarankannya dan tidak disyaratkan untuk meminta izin kepada perempuan yang bersangkutan. Landasan untuk itu adalah hadist sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku pernah bersama Rasulullah r.a. lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia menikahi seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah menanyakan "Sudahkan anda melihatnya?" lelaki itu menjawab "Belum". "Pergilah dan lihatlah dia" kata Rasulullah "Karena pada mata kaum anshar (terkadang ) ada sesuatunya".
Para Ulama sepakat bahwa melihat perempuan dengan tujuan khitbah tidak harus mendapatkan izin perempuan tersebut, bahkan diperbolehkan tanpa sepengetahuan perempuan yang bersangkutan. Bahkan diperboleh berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah berkhitbah. Ini karena Rasulullah s.a.w. dalam hadist di atas memberikan izin secara mutlak dan tidak memberikan batasan. selain itu, perempuan juga kebanyakan malu kalau diberitahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang.
Begitu juga kalau diberitahu terkadang bisa menyebabkan kekecewaan di pihak perempuan, misalnya pihak lelaki telah melihat perempuan yang bersangkutan dan memebritahunya akan niat menikahinya, namun karena satu dan lain hal pihak lelaki membatalkan, padahal pihak perempuan sudah mengharapkan.Maka para ulama mengatakan, sebaiknya melihat calon isteri dilakukan sebelum khitbah resmi, sehingga kalau ada pembatalan tidak ada yang merasa dirugikan. Lain halnya membatalkan setelah khitbah kadang menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.Persyaratan diperbolehkan melihat adalah dengan tanpa khalwat (berduaan saja) dan tanpa bersentuhan karena itu tidak diperlukan. Bagi perempuan juga diperbolehkan melihat lelaki yang mengkhitbahinya sebelum memutuskan menerima atau menolak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan diperbolehkan lelaki melihat perempuan yang ditaksir sebelum khitbah. Sebagian besar ulama mengatakan boleh melihat wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama mengatakan boleh melihat kepala, yaitu rambut, leher dan betis. Dalil pendapat ini adalah hadist di atas, bahwa Rasulullah telah mengizinkan melihat perempuan sebelum khitbah, artinya ada keringanan di sana. Kalau hanya wajah dan telapak tangan tentu tidak perlu mendapatkan keringanan dari Rasulullah karena aslinya diperbolehkan. Yang wajar dari melihat perempuan adalah batas aurat keluarga, yaitu kepala, leher dan betis. Dari Umar bin Khattab ketika berkhitbah kepada Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib melakukan demikian.
Dawud Al-Dhahiri, seorang ulama tekstualis punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Aqil dari Imam Ahmad. Alasannya hadist yang memperbolehkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan melihat. Tentu saja pendapat ini mendapat tentangan para ulama. Imam AUza'I mengatakan boleh melihat anggota badan tempat-tempat daging.
Bagi perempuan yang akan menerima khitbah disunnahkan untuk menghias dirinya agar kelihatan cantik. Imam Ahmad berkata:"Ketika seorang lelaki berkhitbah kepada seorang perempuan, maka hendaklah ia bertanya tentang kecantikannya dulu, kalau dipuji baru tanyakan tentang agamanya, sehingga kalau ia membatalkan karena alasan agama. Kalau ia menanyakan agamanya dulu, lalu kecantikannya maka ketika ia membatalkan adalah karena kecantikannya dan bukan agamanya. (Ini kurang bijak).

ref: berbagai sumber

hari asyura

Bulan Muharram adalah bulan yang istimewa, menyimpan banyak makna yang patut ditafakkuri dan ditadabburi. Muharram tidak saja menandai awal tahun menurut penanggalan Islam, namun di dalamnya juga tersimpan hari mulia "Asyura" yang mencatat sejarah penting dan senantiasa dikenang dan diperingati oleh umat beragama samawi.

Bulan Muharram adalah bulan yang istimewa, menyimpan banyak makna yang patut ditafakkuri dan ditadabburi. Muharram tidak saja menandai awal tahun menurut penanggalan Islam, namun di dalamnya juga tersimpan hari mulia "Asyura" yang mencatat sejarah penting dan senantiasa dikenang dan diperingati oleh umat beragama samawi. Hari Asyura dikenang sebagai hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Nuh a.s. dari bencana banjir dan menenggelamkan musuh-musuh-Nya.

Asyura juga dikenang sebagai hari Allah menyelamatkan Musa a.s. dari kejaran Fir'aun dan tentaranya. Itulah sebabnya umat Yahudi dan umat Nasrani mengagungkan hari ini. Nabi Nuh dan Musa diriwayatkan melakukan puasa pada hari ini sebagai ekpresi syukur kepada Allah atas kemenangan yang diberikan kepadanya.

Umat Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura dan menjadikannya sebagai hari raya. Konon kaum Quraish di masa jahiliyah juga melakukan puasa pada hari Asyura dan mereka menjadikannya hari keramat dimana pada hari itu mereka menjalankan tradisi mengganti kiswah Ka'bah.

Ketika Rasulullah berhijrah, beliau mendapati penduduk kota Madinah melakukan puasa pada hari Asyura. Seorang Yahudi mengatakan kepada Rasulullah bahwa Asyura adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari ancaman musuhnya, sehingga Musa berpuasa pada hari itu, Rasulullah pun menjawab "Aku lebih berhak atas Musa dari kalian"(Sahihain), lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa.

Pada masa awal Islam, puasa Asyura adalah wajib bagi setiap muslim hingga turun ayat yang mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Di mata Rasulullah s.a.w. hari Asyura begitu istimewa, beliau senantiasa melaksanakan puasa pada hari ini dan memerintahkan umatnya berpuasa demi rasa solidaritasnya kepada saudara seperjuangannya Nuh dan Musa a.s., bahkan pada tahun terakhir kehidupan Rasulullah beliau bersabda "Insya Allah tahun depan saya juga akan berpuasa" (Ashab Sunan) namun ajal telah menjemput beliau sebelum sempat menyempurnakan tahun itu.

Asyura bagi umat Islam juga menampilkan kilas balik tragedi Karbala yang telah merenggut kedua cucu tercinta Rasulullah s.a.w, Hasan r.a. dan Husain r.a.. Lebih dari itu Karbala adalah tragedi yang menyadarkan kita betapa anarkisme, kekerasan dan tindakan tidak berperikemanusiaan telah menjadi noktah hitam sejarah umat Islam yang tidak akan pernah layak untuk terulang kembali.

Masyarakat kita juga banyak menjalankan beberapa tradisi beragam berkaitan dengan hari Asyura. Ini menandakan betapa mengakarnya hari Asyura dalam tradisi dan budaya sebagian masyarakat kita. Di atas makna dan peristiwa yang terjadi bersamaan dengan hari Asyura ini, kita disunnahkan untuk mendirikan ritual puasa.

Ada yang mengatakan puasa dilakukan pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena keduanya pernah dilakukan Rasulullah dan sahabatnya. Namun ada yang mengatakan bahwa Asyura hanya tanggal 10 Muharram. Puasa yang kita lakukan, tentunya mempunyai kandungan makna yang cukup mendalam dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena menanamkan kepada kita nilai-nilai pengorbanan, perjuangan, solidaritas antar umat beragama, tenggang rasa dan yang terpenting semangat anti kekerasan dan anti anarkisme dalam setiap langkah upaya dan perjuangan kita.

Semoga puasa Asyura kita diterima Allah dan mampu mencerminkan makna yang terkandung di dalamnya. Wassalam